Pagi-pagi yang cerah. Seorang anak gadis berambut merah hanya terdiam. Terduduk. Menumpukan dagunya dikedua tangannya. Matanya yang berwarna biru, memandangi matahari yang seakan mengejek. Kesal terasa. Hari demi hari yang terus dijalani tanpa adanya rasa, kesan, dan suasana yang berbeda. Bosan. Lelah.
Teng. Teng. Teng.
Jam besar berdentang sebanyak delapan kali. Memecahkan suasana hening. Mimosa terbangun dari lamunannya–daydream. Manik birunya dibiarkan memandang sebuah alat musik berdawai yang tergeletak disampingnya dan tak berdaya diatas bungkusnya. Sebuah viola yang selalu menemaninya kemanapun. Sahabat bisu bagi dirinya. Tapi, saat ini, tidak ada ketertarikan baginya untuk memainkan nada-nada.
Bosan. Bosan. Bosan. Kata-kata itu telah terpatri dalam pikirannya. Keinginan untuk melepaskan diri dari sangkar sudah tak tertahan. Mimosa menegakan diri. Merapikan pakaiannya. Dilanjutkan dengan memasukan sang viola kedalam covernya. Mimosa perlahan keluar dari ruangan latihannya, melalui jendela. Melepaskan diri dari pengawasan butler-nya yang menunggu di depan ruangan. Perlahan. Perlahan. Mengendap-endap seakan kucing. Sesekali memperhatikan sekitarnya. Bersembunyi ketika melihat pelayan-pelayan rumah.
Sedikit lagi. Sedikit lagi.
***
Terlepas dari sangkar. Mencoba untuk membentangkan sayap, ditempat yang tak terlalu dikenal olehnya. Berjalan. Terus berjalan. Tak tentu arah. Terkadang mengikuti arah angin, terkadang mengikut kucing yang melenggok santai. Langkah-langkah kecil terus diayunkan. Rasa kagum tak terhentikan. Melengok ke kanan dan ke kiri, seakan anak hilang. Memperhatikan setiap toko yang dilewatinya, setiap orang yang tak dikenal, dan setiap sudut gang kecil yang mampu terlihat oleh matanya.
Perjalanan diri yang sangat menyenangkan. Tapi, lelah sudah terasa. Matanya menatap taman yang dipenuhi dengan pepohonan. Memperhatikan anak-anak yang tidak terlalu jauh berbeda usai dengannya bermain riang. Dan memutuskan untuk beristirahat disana. Mimosa melangkahkan kakinya, memasuki wilayah taman tersebut. Kemudian mengenyakan diri diatas kursi panjang berwarna putih. Membiarkan sahabat bisunya terdiam dipanngkuan. Memejamkan mata sebentar. Mendengarkan dengan seksama suara-suara disekeliling. Membentuk nada-nada tak beraturan.
“Selamat ulang tahun!!”
Kata-kata yang membuat tersadar. Suara anak kecil yang begitu riang mengucapkan selamat ulang tahun kepada temannya. Hadiah-hadiah begitu banyak diterima oleh anak yang berulang tahun. Mimosa tersenyum simpul memperhatikan mereka. Mengingatkan ulang tahun dirinya. Hari kelahiran. Hari ini tepat, dirinya telah dua belas tahun berada di dunia ini. Tapi, itu bukanlah hal penting. Dia sama sekali tidak peduli dengan hal itu.
Manik birunya memandang cover viola. Membelai lembut. Membuka kunci dari cover yang membungkus teman bisunya. Menatap teman bisu dihadapannya. Mimosa bangkit dari tempatnya mengenyakan diri. Meletakan cover berisi viola diatas kursi putih. Mengambil penggesek, dan mengangkat sang viola. Mimosa telah meletakan viola pada posisi. Tersandar dibahunya. Dan mulai melantunkan nada-nada Happy birthday. Membuat anak-anak kecil yang sedang berceloteh riang mengalihkan perhatiaanya. Mereka berlari mendekati Mimosa. Menatap dengan rasa ingin tahu dan bahagia. Terdiam menikmati setiap nada yang keluar. Dan kembali berceloteh riang ketika lagu selesai.
“Hebat! Hebat!” ucap anak-anak kecil itu. Mimosa yang menyadari keberadaan mereka, langsung menyesuaikan tinggin badannya dengan anak-anak itu. Tersenyum.
“Jadi? Siapa yang berulang tahun?” tanya Mimosa.
“Nicole,” jawab mereka. Kompak.
“Hm, Nicole. Selamat ulang tahun ya.”
“Iya!!!” Jawab Nicole. “Terima kasih ya kak!”
Mereka segera kembali kepada orang tua mereka. Mimosa hanya bisa menatap kepergian mereka. Dan membalas melambaikan tangan. Rasa iri terasa. Terlalu menyesakan. Terlalu menyedihkan. Membuat air mata tergenang. Dia mendengakan kepala, sebagai usaha menahan air mata agar tidak mengalir.
“Nona Mimo!” terdengar suara familiar ditelinganya.
Neicht? Ada apa? Ah, celaka. Teringat akan usahanya melarikan diri. Namun, tidak ada usaha dari dirinya untuk melarikan diri kembali. Mimosa hanya tetap berada ditempatnya. Mengembalikan temannya pada cover. Tetap bersikap tenang. Seakan tidak ada hal apapun.
“Ada apa? Neicht,” tanya Mimosa.
“Kenapa Nona berpergian sendiri? Tanpa ada saya yang menemani. Ini berbahaya, Nona,” ucap Neicht.
“Ya, ya. Aku tahu. Mari pulang.”
“Tapi, sebelum itu. Nona,” ucap Neicht sambil mendekatkan diri kepada Mimosa. “Terimakasih karena telah dilahirkan,” bisiknya.
Mimosa terkaget. Ucapan yang begitu lama ingin didengarnya. Membuat air mata mengalir begitu saja. Perlahan mendekatkan diri kepada Neicht dan memeluknya. Neicht hanya bisa terdiam sambil tersenyum dan mengusap lembut kepala Mimosa.
Terimakasih karena telah dilahirkan