The Magister

PROLOG

Saat Kamu tidak menyadari bahwa keajaiban itu benar adanya.

Saat Kamu tidak memikirkan bahwa dunia dongeng itu suatu cerita yang benar adanya.

Saat Kamu tidak mempercayai akan sihir itu benar-benar ada.

Suatu kala, ketika dunia sudah mencapai abad ke-21, dilengkapi dengan gedung-gedung pencakar langit yang mangalahkan tingginya pohon di hutan.  Hewan-hewan semakin kehilangan tempat untuk tinggal.  Teknologi-tekhnologi modern semakin banyak digunakan oleh manusia.  Anak-anak bermain tidak bersama dengan khayalan akan dunia fantasinya lagi.  Kendaraan-kendaran berlalu lalang menambahkan kebisingan.  Kutub utara mulai menunjukan adanya perubahan karena panasnya suhu matahari yang menerjang langsung ke Bumi.

Apakah Kamu menyadari?

Disaat semua orang terhanyut akan kondisi Bumi saat itu.  Hanya sekian ribu orang —tidak sampai lima ribu orang— yang menyadari adanya suatu tempat yang tidak banyak tersentuh oleh tekhnologi.  Hutan masih terus berwarna hijau.  Hewan-hewan menemukan tempat untuk tinggal dan bermain.  Anak-anak masih bermain dengan fantasinya.

Di tempat itu Kamu akan menemukan hewan-hewan, peri-peri, tumbuhan-tumbuhan, dan lainnya yang, mungkin Kamu sadari hanya dapat ditemukan dalam buku dongeng.  Tempat yang benar-benar terpisah dari kehidupan manusia yang Kamu kenal.  Tempat indah penuh dengan segala panorama alam yang akan membuat matamu terbelalak, menunjukan kekaguman.  Alam masih bekerja sama dengan manusia yang tinggal di sana.  Saling berbagi.  Saling pengertian.

Kenapa tempat ini hanya diketahui oleh sedikit orang?

Tempat terebut terlindungi oleh suatu hal yang kasat mata (barier).  Mungkin Kamu tidak akan percaya, namun tempat tersebut terlindungi oleh sihir (Magic).  Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat masuk ke tempat itu.  Mudahnya orang-orang tersebut biasa disebut dengan kata penyihir (Witch/Wizard).  Meskipun Kamu tidak mempercayai akan penyihir, namun inilah kenyataannya.  Penyihir, beserta dengan sihirnya benar-benar ada.  Dapat dipastikan bahwa hal tersebut sangat berbeda dengan sulap yang biasa Kamu lihat dalam acara di televisi atau bahkan dari dongeng nenek sihir yang Kamu ketahui.

Di sana, jangan Kamu berpikir bahwa Kamu akan menemukan adanya penyihir dangan tongkat sihirnya.  Para penyihir tersebut tidak menggunakan tongkat sihir sebagai alat untuk mengeluarkan kemampuan sihir mereka, lingkaran sihir menjadi penggantinya.  Mantra-mantra, tentu saja masih tetap digunakan.  Suatu upacara khusus saat usia tertentu menjadi suatu kebutuhan untuk pengendalian sihir dalam tubuh mereka.

Para penyihir yang berada disana terlindungi oleh alam dan sang penjaga alam, begitu pula sebaliknya.  Mereka salaing menghormati adanya keharmonisan.  Namun, jangan Kamu berpikir bahwa kondisi disana benar-benar damai tanpa adanya pergejolakan.  Segala hal di dunia ini tidak selamanya akan benar-benar indah.

Kenapa tempat tersbut terpisah dari kehidupan manusia biasa?

Perpisahan itu merupakan suatu hal yang menyakitkan.  Namun, pastinya ada suatu alasan sehingga perpisahan itu benar-benar terjadi.  Alasan terjadinya perpisahan antara manusia biasa dan penyihir akan Kamu temukan saat Kamu benar-benar mengerti tentang manusia dan penyihir.  Saat Kamu menyadari kekurangan dan kelebihan yang ada.  Saat Kamu dapat menerima orang lain dan dirimu apa adanya.

There is hope you can find.

See the sky and feel the atmospher.  Grab the hope throught the sky.

SPELL I

AWAL MULA

 

            Pagi yang cerah, di sebuah kota, di suatu negara yang terletak di Bumi.  Kicau burung-burung yang mampu bertahan dalam kondisi bumi saat ini, sesekali akan terdengar di telinga.  Awan putih berarakan, tanpa adanya niat untuk menyembunyikan matahari.  Matahari bersinar dengan begitu bahagia, hingga tidak ada yang berani untuk menyembunyikan sinar keceriaan matahari.

Terlihat rumah bergaya eropa berukuran besar dengan halaman yang sangat luas.  Halaman tersebut dipenuhi oleh berbagai tanaman dan bunga, seperti rose, baby blue eyes, daisy, morning glory, dan masih banyak lainnya.  Halaman tersebut dilengkapi dengan adanya gazebo kecil yang dikelilingi oleh bunga-bunga yang bermekaran.  Tidak ada seorang pun yang merasa bosan untuk melihat keindahan rumah bergaya eropa tersebut.  Keindahan rumah itu membuatnya terlihat menonjol diantara rumah-rumah lainnya yang terkesan biasa.  Warna-warna yang terlihat dari bunga-bunga disekeliling rumah tersebut bagaikan pelangi yang mewarnai langit biru.

Seorang anak perempuan tidur di salah satu kamar yang terletak di dalam rumah bergaya eropa itu.  Tidur dengan kondisi seluruh tubuhnya tertutupi oleh selimut tebal  yang membungkusnya.  Masih tetap tidur, seakan melawan cahaya matahari yang menerobos masuk diantara sela-sela tirai.  Tidak ingin segera terjaga dari tidurnya, hingga akhirnya tiba waktu baginya untuk benar-benar terjaga dari tidur.

Tok. Tok.  Tok

Ketukan terdengar dari pintu kamar anak perempuan tersebut.  Diikuti oleh suara terbukanya pintu kamar.  Langkah kaki yang terdengar ringan melangkah masuk ke dalam kamar.  Terlihat seorang laki-laki yang berusia sekitar 17 tahun  masuk ke dalam kamar anak perempuan tersebut­­—Kleint. Seorang laki-laki yang tampan dengan tubuh yang proporsional.  Manik matanya yang berwarna coklat dan rambut yang berwarna coklat kekuningan menambah keindahan dari Kleint. Tubuh Kleint terbalut dalam baju kemeja berwarna biru langit dan celana bahan berwarna biru gelap.  Kemejanya dihiasi dengan dasi berwarna biru bergaris putih diagonal yang melingkari lehernya dan bersembunyi dibalik kerah kemeja. Kleint kini menghadapi tirai yang terkulai lemas menutupi jendela kamar.  Dia meletakan tangannya di bagian ujung tirai tersebut dan langsung membuka lebar tirai yang terkulai.

Anak perempuan yang berada dibawah selimut menunjukan adanya reaksi terhadap cahaya matahari yang menyeruak masuk.  Menurunkan selimut yang menutupi kepalanya dan terlihatlah perawakan anak perempuan itu.  Tenyata seorang anak perempuan dengan wajah yang rupawan, kulit putih dengan semu merah di pipinya,  matanya berwarna biru laut, dan rambut panjang yang berwarna merah kehitaman serta sedikit berantakan.  Anak perempuan itu bernama Sharon Diaz Aquila.

Sharon mulai menegakan tubuhnya perlahan.  Mengerjapkan matanya agar terbiasa dengan cahaya, kemudian terdiam terduduk diatas tempat tidurnya. Pikirannya masih menerawang entah kemana, nyawanya belum terkumpul semua denga baik.  Seekor kucing besar —singa— berwarna putih, dengan sedikit loreng abu-abu ditubuhnya, serta tatapan mata yang tajam.  Tanpa memperdulikan apapun kucing besar itu menyeruak duduk disamping Sharon.  Sharon menyunggingkan sebuah senyum tipis di bibirnya, sambil memperhatikan singa yang duduk disampingnya.  Sharon meletakkan tangan diatas punggung singa yang sangat disayanginya sebagai hewan peliharaan, mengelusnya, serta merasakan kelembuatan dari rambut singa itu.  Sharon lebih mendekatkan dirinya kepada singa disampingnya, kemudian melingkarkan lengannya disekeliling leher singa tersebut dan memeluknya lembut.

”Pagi, nona Sharon,” ucap Kleint.  ”Morning tea  hari ini saya menyediakan earl grey tea.”

”Selamat pagi.  Leon,  Kleint,” ucap Sharo, sambil melepaskan pelukannya dari Leon.

Sharon mengambil secangkir teh yang telah disediakan oleh Kleint dan meminumnya sedikit.  ”Pagi Nona Sharon.”  Suara berat dan sedikit serak membalas.  Leonlah yang menjawab.  Leon seekor singa yang dapat berbicara.  Apakah ini aneh?  Namun, sayangnya bagi Sharon, Kleint, dan bahkan Leon sendiri, ini bukanlah suatu hal yang aneh.  Hanya suatu hal yang berada diluar perkiraan bagi manusia yang tidak mengetahui hal tersebut.

”Nona, sarapan telah siap di ruang makan dan sebaiknya cepat bersiap.  Jika, tidak ingin terlambat masuk sekolah,” ucap Kleint mengingatkan.

Sharon mengangguk pelan sebagai jawaban.  Menyikirkan selimutnya yang masih menutupi kakinya.  Selanjutnya, dengan rasa enggan menurunkan kakinya dari tempat tidur.  Sharon menolehkan kepala, memperhatikan sebentar Kleint dan Leon yang berjalan keluar dari kamarnya.  Kemudian, manik biru lautnya memperhatikan cahaya matahari pagi dan burung-burung yang berkicau riang di luar kamarnya.

Melangkahkan kakinya ke arah jendela kamarnya yang mengarah ke arah halaman belakang kamarnya.  Membukanya.  Menghirup udara pagi hari.  ”Selamat pagi,” sapanya kepada beberapa ekor burung berwarna indah yang bertengger di teras kamarnya.  Sharon terus memperhatikan burung-burng tersebut yang melompat-lompat dan mengangguk-angguk riang sebagai balasan sapa dari Sharon.  Senyum tipis kembali terlihat di bibir Sharon.

***

Sharon telah mengenakan pakaian yang hampir serupa dengan pakaian yang dikenakan Kleint, hanya saja Sharon menggunakan rok sebagai penggani celana.  Sharon telah mengakhiri sarapannya dengan secangkir teh hangat.  Menatap Leon yang bergelung di samping dia duduk.  Menatap Kleint yang mulai merapikan gelas dan piring yang telah selesai digunakan.  Leon bangkit dari tempatnya bergelung, dan menggigit tempat makannya.  Tanpa perintah atau apapun, Leon dan Kleint berjalan keluar dari ruang makan.

Sharon yang tetap tinggal di ruang makan, mengambil tas yang terletak tepat disamping kursi yang didudukinya dan meletakannya di pangkuan.  Membuka tas dan membiarkan sebagian tangannya tertelan oleh tas untuk beberapa saat.  Sharon mengeluarkan sebuah kartu putih dari dalam tas, menatapnya lekat.  Mengangkat kartu putih tersebut tepat di depan wajahnya.  Memposisikan kartu ditangan sedemikian rupa, sehingga kartu tersebut membentuk suatu garis, jika dilihat dari arah Sharon.  Dia memejamkan mata dan berkonsentrai.  Sebuah lingkaran sihir tebentuk di antara Sharon dan kartu.  Lingkaran sihir tersebut bergerak maju menembus kartu.  Sedikit demi sedikit memberikan gambar pada bagian depan dan belakang dari kartu putih ditangannya, seperti halnya mesin printer.

Matanya kembali dibuka.  Dan sekarang dia memperhatikan kartu yang berada ditangannya, dari bagian depan hingga belakang kartu.  Senyum puas tersungging di bibirnya.  Enam langkah kaki terdengar ditelinganya.  Dia menatap kearah asal suara, hingga akhirnya Kleint dan Leon terlihat oleh manik birunya.

”Leon, hari ini kamu masuk ke dalam kartu ini,” ucap Sharon, sambil memandang lekat Leon.

”Saya tidak mau masuk ke dalam kartu itu, nona.  Saya ingin menemani anda dengan wujud saya yang biasanya,” terdengar suara berat dari Leon yang menolak untuk masuk ke dalam kartu.

”Dirimu tidak akan bisa menemaniku dalam wujud seperti itu, disini adalah tempat manusia biasa berada, bukan tempat para penyihir dengan hewan sihirnya.”

”Nona, saya …” Leon masih terus merajuk.

”Leon, kamu harus masuk ke dalam kartu ini.  Disini sudah kusediakan lebih banyak mainan,” perintah Sharon.

 Ghrrrrrrr.

Leon hanya bisa membalas dengan menggeram dan menatap sepasang kaki depannya.  Dia masih ingin tetap menolak, tapi dia tidak bisa.  Leon merasakan bahwa semua alasannya akan tetap ditolak oleh Sharon.  Meskipun, sudah ada seribu alasan untuk menolak agar tidak dimasukan ke dalam kartu.  Dia mengetahui bahwa Sharon akan memiliki seribu jawaban untuk menolak alasannya.  Dan dia tahu bahwa Sharon lebih keras kepala dibandingkan batu karang.  Leon hanya bisa pasrah menerima keputusan tuannya dan segera masuk ke dalam kartu ditangan Sharon.

Sharon telah meletakan kartu yang berisi Leon ke dalam tas.  Kini Sharon mengalihkan pandangannya kepada Kleint.  ”Kamu sudah mengerti apa yang harus dilakukan nanti, Kleint?”  tanya Sharon.  Kleint mengangguk yang memberikan arti dia telah paham.  Sharon tersenyum lembut, ”Kita berangakat sekarang.”

***

Upacara penerimaan murid baru telah selesai.  Sharon sudah duduk di kelasnya untuk memulai sekolahnya di dunia manusia.  Sharon kini duduk di kelas satu akademi Apollo-Artemis. Berbeda kelas dengan Kleint yang menjadi murid pindahan dan duduk di kelas dua belas.  Sharon tersenyum-senyum sendiri, menatap keluar kelasnya dari jendela yang terletak disamping tempatnya duduk.  Terlalu banyak hal-hal menyenangkan yang terbayang di benaknya tentang hal yang akan terjadi selama dirinya bersekolah di akademi ini.

”Selamat pagi anak-anak, saya Don Kozma yang akan menjadi wali kelas kalian,” sapa seorang guru pria yang membuat lamunan Sharon terpecah.  Don Kozma adalah seorang guru dengan kacamat oval yang bertengger di hidungnya, potongan rambutnya acak.  Caranya berpakaian pun seadanya, hanya menggunakan kemeja putih dan jas coklat yang sudah lusuh.

”Kita akan memulai Home classnya dan diberitahukan bahwa pada hari pertama sekolah tidak pernah ada pelajaran,” jelasnya kepada seluruh murid kelas dihadapannya.

”Namun, diharapkan untuk anak-anak kelas satu agar kalian dapat segera membaur dengan akademi ini.  Kalian mengerti anak-anak?”

”Iya,” jawaban serempak dari murid-murid di kelas.

“Jika begitu sekarang perkenalkan diri kalian masing-masing, mulai dari sebelah kanan saya.”

Perkenalan diri dimulai.  Sharon mulai memperhatikan teman-teman sekelasnya yang memperkenalkan diri.  Kini orang kedua telah selesai memperkenalkan diri, dilanjutkan dengan orang ketiga.  Tawa mulai menghiasi kelas.  Namun, tiba-tiba perhatian Sharon teralihkan kepada Don Kozma —kita sebut saja Pak Don— yang terlihat panik.  Sharon tertawa pelan melihat wali kelasnya dengan gelagat panik.

”Ah … tunggu sebentar!” ucap Pak Don, panik.  ”Saya salah bawa absensi kalian, saya akan segera kembali.”

Pak Don segera melangkahkan kakinya.  Brukk.  Pak Don terjatuh, entah oleh apa.  Seisi kelas terperangah melihat tingkah Pak Don yang panik dan sangat lucu.  Dengan susah payah, seisi kelas menahan tawa.  ”Kalian tetap diam disini dan jangan membuat keributan,” ucapnya, setelah dirinya menegakan diri kembali.

Begitu Pak Don sudah melangkahkan kaki keluar kelas dan para murid di kelas sudah tidak dapat mendengar langkah kaki panik Pak Don.  Segera saja kelas ramai dengan tawa yang sedari tadi ditahan oleh mereka.  Para murid dikelas mulai berinteraksi satu sama lain.  Menambah keramaian kelas.  Mereka saling berkenalan satu sama lain, saling bercerita.  Topik tentang wali kelas mereka menjadi perbincangan paling hangat untuk saat itu.

Sharon hanya duduk diam ditempatnya.  Dia bingung bagaimana harus memulai pertemanannya dengan teman-teman di kelasnya.  Sharon tidak pandai berinteraksi dengan orang lain.  Biasanya Sharon akan menjadi canggung, jika akan berinteraksi dengan orang yang baru saja dikenalnya.  Mata Sharon memandangi pemandangan dikelasnya.  Melihat para murid yang berceloteh dengan ria.

”Hei, hei, kelakuan Pak Don lucu ya,” ucap seseorang murid perempuan yang duduk di depan Sharon.  Seorang gadis dengan wajah kekanakan, kulit berwarna kuning langsat, mata berwarna coklat tua, dan dengan rambut berwarna coklat sebahu.

”Ah, ya,” balas Sharon.
”Aku pikir tadi Pak Don akan sedikit tegas, ditekankan SEDIKIT tegas.  Namun, ternyata Pak Don itu ceroboh.”

”Iya, ini pertama kalinya aku melihat seorang guru seperti Pak Don,” ucap Sharon sambil tersenyum.  Berusaha untuk memulai suatu interaksi dengan seorang murid yang diharapkannya bisa menjadi teman bagi dirinya.

Murid perempuan itu tertawa, ”Iya, aku juga baru pertama kali ini melihat guru seperti Pak Don.  Bahkan, Pak Don salah membawa absen kelas.  Oh, ya, namaku Alice, Alice Mapel.”

”Aku Sharon, Sharon Aquila.”

“Kalau begitu boleh aku panggil Sharon saja?  Kamu panggil aku Alice saja.”

“Boleh, tentu saja,” Sharon menerimanya.

“Semuanya kembali ke tempat duduk kalian masing-masing.  Kita lanjutkan kembali Home classnya,” ucap Pak Don yang telah kembali ke kelas.  Kedatangan Pak Don membuat percakapan para murid berhenti.  Ternyata, meskipun Pak Don ceroboh, namun dia memiliki karisma seorang guru yang mampu mengendalikan para muridnya.  Bagaimanapun Pak Don tetaplah seorang guru.

“Sharon, setelah ini kita keliling bersama ya?” bisik Alice.

“Iya,” jawab Sharon, singkat.

Perkenalan diri kembali dilanjutkan.  Tawa terdengar dari para murid dikarenakan ada tingkah beberapa murid yang tidak terduga.  Pak Don terus mengendalikan para murid, jika sudah bercanda dan tertawa terlalu berlebih.  Perkenalan diri masih terus berlanjut dari murid yang satu ke murid yang lain.  Hingga, akhirnya giliran Alice pun selesai dan kini giliran Sharon memperkenalkan diri.

Sharon berdiri dari tempatnya duduk.  Menatap dengan cukup seksama para murid yang menatapnya.  Dia mempersiapkan diri dengan menarik napas panjang.  Ternyata, memperkenalkan diri cukup membuat Sharon gugup.  Irama detak jantungnya meningkat.  Tangannya terasa dingin.

”Nama saya Sharon Diaz Aquila.  Saya tinggal bersama dengan seorang kakak laki-laki dan seekor binatang peliharaan,” ucapnya.

Sharon merogoh saku di roknya, memastikan bahwa kartu berisi Leon tetap aman bersamanya.  “Saya tinggal di kota ini baru tiga hari yang lalu.  Jadi, saya mohon bantuannya untuk mengenal kota ini.  Saya rasa cukup sekian.”

”Ya, terimakasih kepada Aquila atas perkenalan diri yang begitu singkat,” ucap Pak Don.  ”Ada pertanyaan untuk Aquila?”

Sebuah tangan terjulur ke atas, dari seorang murid perempuan yang duduk di dekat pintu belakang kelas.  Pak Don memberikan gerakan mempersilahkan kepada murid perempuan itu.  Mata Sharon kini menatap lekat murid perempuan itu.

”Kamu adik perempuan dari senior laki-laki yang pindah di kelas tiga pada awal tahun ini, ya?”

Kakak,  Sharon tidak benar-benar memiliki seorang saudara.  Tapi, untuk saat ini Kleint berperan sebagai seorang kakak bagi Sharon.  Senyum tipis tersungging dibibirny.  ”Iya, begitulah,” jawaban singkat dari Sharon, namun entah kenapa jawaban singkat itu membuat para murid perempuan di kelas menjadi ramai.

Tangan yang lain kembali teracung ke atas.  Kini seorang murid laki-laki.  Tanpa dipersilahkan dia segera memberikan pertanyaannya, ”Apakah kamu bukan berasal dari negara ini?  Yah, aku hanya menebak.  Selain itu, ada orang yang kamu sukai?”  Pertanyaan yang membuat kelas bertambah keramaiannya.

Sharon berpikir, lebih baik semua pertanyaan itu di jawab saja seadanya, ”Ya, aku bukan dari negara ini.  Orang yang disukai … kurasa untuk saat ini tidak ada, seandainya itu tidak termasuk dengan Kleint, kakakku dan Leon.”  Kini para murid laki-laki yang menjadi gaduh.  Tingkah teman-teman dikelasnya membuat Sharon bingung.

Plok. Plok.  Plok.

 

Bunyi tepukan tangan dari Pak Don yang berusaha untuk menangani kegaduhan di kelas.  Pak Don menatap ke seluruh kelas.  Memperhatikan para murid dikelasnya untuk beberapa saat.

”Tanya jawab untuk Aquila cukup sekian,” ucap Pak Don yang dijawab dengan buuu-an para murid.  ”Sisanya bisa kalian lakukan setelah acara perkenalan diri selesai.  Aquila, silahkan duduk kembali.”

Sharon segera kembali duduk di atas kursinya.  Perkenalan diri tetap berlangsung.  Satu per satu, hingga akhirnya perkenalan diri para murid selesai.  Pak Don menutup Home classnya dan mempersilahkan kepada para murid untuk menikmati hari pertama disekolahnya.

”Hei, Sharon.  Kita berkeliling yuk!” Ajak Alice.  Ajakan Alice dijawabnya dengan anggukan kepala dari Alice.  Namun, belum sempat Sharon beranjak dari tempat duduknya, dia sudah dikelilingi oleh sebagian murid perempuan dikelasnya.

“Sharon.  Setelah sekolah hari ini selesai, kita keliling kota yuk,” ucap seorang anak perempuan.

“Nanti akan kuberitahu tempat-tempat yang bagus,” lanjut seorang anak perempuan lainnya.

“Sebelumnya kita makan di Mcd yuk.”

Kata demi kata terus berlanjut.  Membuat Sharon bingung harus menanggapi yang mana.  Semuanya merupakan ajakan untuk bermain.  Ajakan yang menyenangkan tentunya, apalagi karena Sharon belum terlalu mengenal tempatnya tinggal sekarang.

”Ya!Ya! Itu semua bisa nanti.  Sekarang Sharon akan berkeliling bersamaku terlebih dahulu,”  Alice menengahi semua percakapan yang seperti permainan sambung kata.  Kemudian, langsung menarik lengan Sharon seakan Sharon itu sebuah boneka.  Hingga, dia terseret keluar kelas. Sharon dan Alice kini berjalan menuju ruangan kelas tiga.  Entah dengan alasan apa Alice mengaj ak Sharon ke tempat itu.  Dia hanya mampu menuruti ajakan Alice.  Baginya kegiatan ini sekaligus untuk membunuh waktu.

”Sharon Kamu tahu,”  Alice mengawali.

”Aku tidak tahu,” jawaban express dari Sharon.

Alice terkikik, ”Ah, iya, aku belum cerita.  Kakak perempuanku juga bersekolah disini dan tampaknya dia sekelas dengan kakakmu.”

”Oh, begitu,” tanggapan datar dari Sharon.

”Selain itu, ternyata kepindahan kakakmu dan kamu membuat murid perempuan dan laki-laki menjadi ramai.”

”Eh, kenapa?”

”Kamu tidak tahu?”

”Mana mungkin aku bisa langsung tahu tanggapan orang disekelilingku dalam waktu yang sebentar,”  Sharon menaikan pundaknya.

”Hooo,” ucap Alice dengan wajah yang lebih mirip seperti orang bodoh.  ”Gampangnya sih, mereka penasaran dengan gosip yang sangat cepat beredar tentang seorang kakak dan adik yang keren dan cantik.”

”Tapi, bagaimana mereka bisa langsung tahu?  Bahwa kami kakak beradik.”

”Nah, itulah kehebatan jaringan info klub berita disekolah ini.  Berita tentang apapun akan sangat cepat menyebar.  Ah, itu dia kelasnya.”

Sharon menatap ke arah kelas yang ditunjuk oleh Alice.  Terlihat sebuah kelas dengan tulisan 3-1 yang tergantung di depan pintu.  Alice mencoba memanggil kakaknya yang berada diantara orang-orang yang berada di kelas itu.  Namun, tidak berhasil karena kakak Alice sepertinya terlalu sibuk berbicara dengan temannya.

Manik biru laut Sharon berkeliling kelas, berusaha untuk mencari sosok Kleint di antara keramaian yang ada.  Ternyata, tidak susah untuk menemukan Kleint, karena dia merupakan orang yang sedang berbicara dengan kakak Alice beserta anak perempuan lainnya.  Gerak-gerik Kleint menunjukan bahwa dia sadar akan keberadaan Sharon.  Kleint segera bangkit dari tempatnya duduk dan segera menghampiri Sharon.  Pergerakan Kleint diikuti oleh kakak Alice.

”No, eh, Sharon?  Kenapa disini?” tanya Kleint kepada Sharon.

”Aku diajak oleh temanku, Alice, kesini,” jawab Sharon sambil memberi isyarat kepada Alice.  ”Alice adalah adik dari kakak yang berada di sebelah Kak Kleint, sepertinya.”

”Selamat pagi,” sapa Alice.  ”Ah, kakak.  Tadi, aku panggil-panggil.”

”Memangnya kamu manggil?” tanya kakak Alice.  Dengan tidak terlalu menghiraukan adiknya, mata kakak Alice kini mengarah kepada Kleint, ”Hei, Kleint, perkenalkan aku pada adikmu.”

”Ah, Lessie, ini Sharon, adikku.  Dan Sharon, ini Lessie Mapel.”

”Selamat pagi,”  sapa Sharon kepada Lessie.

“Wah, ternyata benar ya.  Kalian kakak beradik sangat keren dan cantik,” ucap Lessi sangat riang.

Dengan tindakan yang sangat cepat, Lessie memeluk Sharon dengan erat hingga membuat Sharon merasa sesak.  Sharon berusaha untuk membebaskan diri dari pelukan Lessie.  Namun, pembebasan dirinya tidak berlangsung dengan baik.  Lessie memeluk Sharon terlalu erat.

”Kleint dan Sharon, bagaimana jika kalian datang ke rumah kami seusai sekolah nanti?” ajak Lessie tanpa melepaskan pelukannya dari Sharon.

”Itu benar, Sharon dan Kak Kleint.  Nanti siang ke rumah kami ya?” kata Alice menyetujui ajakan Lessie.

”Eh, tapi … ”  Jawab Sharon ragu.  Sharon masih terus berusaha untuk membebaskan dirinya dari pelukan Lessie.

“Tidak ada tapi.  Alice, nanti kamu seret saja Sharon ke rumah,”  perintahnya kepada Alice.  Akhirnya, Lessie melepaskan pelukkannya.

“Ok, Kak.”

“Dan Kleint, Kamu tidak boleh menolak,” perintah paksa dari Lessie.  Kleint menatap kearah Sharon yang dibalas dangan anggukan kecil dari Sharon.  Dengan isyarat aggukan dari Sharon,  Kleint menyetujui usul dari Lessie.

Kini Sharon dan Alice telah pergi dari kelas 3-1.  Mereka beranjak untuk berkeliling sekolah lebih jauh.  Bahkan, jika mungkin untuk mendatangi tempat-tempat yang tidak boleh didatangi.  Mereka telah mendatangi Lab Biologi, Lab Kimia, Gedung serba guna, dan lainnya.  Bahkan, mereka mengunjungi ruangan yang tak terpakai dan tampaknya telah ditinggalkan.  Waktu berlalu sangat cepat.  Tanpa terasa matahari sudah mulai bersiap untuk berganti tugas dengan bulan. SharondanAlicesudah kembali ke kelas mereka.  Mereka bersiap-siap untuk pulang.

Sharon memperhatikan pemandangan dibalik jendela, melihat dua orang yang berbeda gender menunggu di pintu gerbang.  Dia menyadari bahwa kedua orang tersebut adalah Kleint dan Lessie.  Menatap Kleint yang menyenderkan punggungnya di pintu gerbang dan Lessie yang melambaikan tangan, memberi isyarat agar bergerak lebih cepat.

“Alice, ayo cepat,” perintahnya.  “Mereka sudah menunggu di gerbang.”

Alice segera bersiap dengan sedikit terburu-buru.  Menjejalkan semua barang yang mampu dia jejalkan ke dalam tas.  Sh aron sudah berjalan lebih dulu, meninggalkan Alice, membuat Alice harus mengejar Sharon.  Suara sol sepatu mengiringi mereka melewati koridor.  Selangkah demi selangkah mereka mulai menuruni anak tangga, hingga anak tangga yang terakhir dan mereka tiba di lantai satu.  Alice dan Sharon mempercepat langkah mereka hingga berlari.  Melewati pintu gedung sekolah, teras sekolah, dan akhirnya tiba di tempat Kleint dan Lessie menunggu.

Sharon terengah, nafasnya memburu dan wajahnya pucat.  Berlari bukan merupakan suatu hal yang biasa dilakukan oleh Sharon.  Kleint segera membawa Sharon mendekati dinding gerbang dan membiarkan dia untuk beristirahat sebentar.  Kondisi Sharon sangat berlawanan dengan Alice yang meski sedikt terengah, namun tetap dalam kondisi yang sehat.  Sharon menatap Alice, Kleint, dan Sharon, memperhatikan adanya kecemasan yang terlihat diwajah mereka.

“Maaf,” ucap Sharon.  Terengah.

“Tenang saja,” ucap Lessie berusaha untuk menenangkan.  “Kamu tidak apa-apa kan?”

”Ya…, aku baik-baik saja.”

“Sudah bisa jalan sekarang?” tanya Kleint kepada Sharon.  Tatapan cemas masih terlihat dari sorot matanya.  Kleint memberikan botol berisi air mineral kepada Sharon.

”Bisa.” Sharon mengambil botol air mineral yang disodorkan oleh Kleint.  Membuka tutup botolnya dan langsung menenggak air mineral yang berada di dalam botol.

”Jangan memaksakan diri,” ucap Alice.

”Tenang saja, aku benar-benar sudah membaik,” ucap Sharon sambil menegakan dirinya.  Memberikan botol yang dipegangnya kepada Kleint.  Dia memimpin jalan untuk menunujukan bahwa dirinya sudah tidak apa-apa.  Ketiga orang yang mencemaskan kondisi Sharon saling menatap satu sama lain dan segera mengejar Sharon yang sudah mendahului.

Perjalanan yang dilakukan oleh Sharon dan Kleint sama sekali tak terasa.  Setelah menaiki kereta dan berjalan sekitar 15 menit dari stasiun kereta, tanpa sadar, tiba-tiba saja mereka sudah tiba di rumah Mapel bersaudara. Sharon mengamati kondisi luar rumah tersebut.  Sebuah rumah yang sederhana dengan dua lantai, terlihat tulisan ’MAPEL’ menghiasi dinding pagar.  Teras kecil yang dihiasi oleh beberapa jenis tanaman berwarna hijau menambah keindahan dari rumah yang sederhana itu, dan disebelah kanan rumah, terlihat sebuah garasi yang membiarkan satu mobil berwarna merah marun bertengger didalamnya.

Mapel bersaudara mempersilahkan Alice dan Klein masuk ke dalam rumah.  ”Permisi,” ucap Sharon dan Kleint hampir bersamaan.  Dengan sedikit enggan Sharon melangkahkan kakinya memasuki rumah Mapel bersaudara.  Matanya menjelajah mengamati hampir setiap bagian dari rumah itu.  Sharon dan Kleint mengikuti Mapel bersaudara menuju ke sebuah ruangan yang ternyata merupakan ruangan keluarga.  Ruangan keluarga itu cukup luas dengan bagian lainnya merupakan dapur sekaligus meja makan.  Pada bagian lain, dapat terlihat adanya sebuah teras lain yang dibatasi sebuah jendela besar dan terdapat sepasang tirai yang digunakan untuk menutupi jendela.  Sangat terasa bahwa ruangan tersebut sering digunakan untuk bercengkrama.  Didalam ruangan itu juga terlihat sebuah TV yang bertengger diatas lemari kecil dan tardapat beberapa sofa berwarna coklat berada disekitar TV tersebut.

”Ah, selamat sore,” ucap Sharon begitu melihat seorang wanita yang sudah cukup berumur.  Sharon menebak bahwa itu merupakan ibu dari Mapel bersaudara dari wajahnya yang hampir serupa dengan Lessie.

”Selamat sore,” balas dari wanita itu.  Senyum hangat menghiasi wajah ramah dari wanita tersebut.  Wajahnya yang sangat lembut menunjukan bahwa dia adalah seorang ibu yang baik.

”Ah, itu ibuku, Nellie Mapel,” ucap Alice sambari mempersilahkan Sharon dan Kleint untuk duduk di sofa tersebut.  Sharon memilih duduk di sofa yang mengarah ke arah teras, sedangkan Kleint duduk tepat di seberang Sharon.  Maanik biru laut Sharon menatap Alice yang sedang mempersiapkan minuman untuk disajikan.  Dia mengalihkan pandangannya dari Alice kepada Lessie yang sedang berbicara berbisik dengan ibunya, entah apa yang mereka bicarakan.

”Ada yang bisa kubantu, Alice?” tanya Sharon dari tempatnya duduk.

”Ada, jika kamu benar mau membantu.”

”Tentu, saja,” ucap Sharon sembari mendekati tempat Alice berada.

“Terimakasih.  Kalau begitu, tolong tuangi gelas-gelas yang sudah kusiapkan dengan sirup di dalam botol di sebelah gelas itu.  Aku ingin mencuci piring terlebih dulu.”

“Baiklah,” ucap Sharon mematuhi.  “Lalu?  Jika sudah selesai ku tuangi?”

“Oh, ya.  Dihidangkan saja di meja tempat kita berkumpul.”

Tidak membutuhkan waktu yang lama hingga Sharon selesai menungi penuh sirup ke dalam gelasnya.  Segera saja dia membawa gelas-gelas tersebut dan menghidangkannya.  Lessie yang telah selesai berbicara dengan ibunya segera membantu Sharon untuk menghidangkan minuman.

Setelah beberapa waktu, sekarang semua telah lengkap berkumpul.  Sharon, Kleint, Alice, Lessie, serta ibu dari Mapel bersaudara, Nellie.  Sharon telah duduk di tempatnya semula dan Kleint tetap ditempatnya.  Alice, Lessie, dan Nellie duduk di sofa panjang yang berada diantara dirinya dan Kleint.  Entah dengan alasan apa, terlihat wajah serius dari Lessie dan ibunya.  Membuat keadaan menjadi sedikit kaku dan canggung.

”Kleint, Sharon” Nellie mengawali, namun dengan keraguan yang terukir di wajahnya.  ”Entah dari mana harus kumulai.”

”Langsung saja, Mom,” ujar Lessie memberikan semangat pada ibunya.  ”Atau perlu aku saja yang berbicara?”

”Tidak.  Biar aku saja.” ucap Nellie.  Matanya kini menatap lurus ke mata Kleint dan Sharon secara bergantian.  Membuat Sharon benar-benar bingung dengan kondisi tersebut.  ”Apa kalian tahu tentang sihir dan penyihir?”

SPELL II

SIHIR DAN PENYIHIR

”Apa kalian tahu dengan sihir dan penyihir?”  Pertanyaan yang membuat Sharon dan Kleint sedikit tersentak.  Namun, mereka berhasil menyembunyikan rasa kaget yang menyerang.  Berusaha seolah bahwa mereka tidak mengenal dengan sihir yang sesungguhnya.  Tentu saja mereka harus berpura-pura, karena Sharon hanya ingin bersekolah di sekolahnya sekarang tanpa ada yang mengetahui akan jati dirinya sebagai seorang penyihir.

Pada kenyataanya, dia—Sharon—tidak benar-benar kaget.  Mungkin dikarenakan dia sudah mengetahui apa yang akan terjadi.  Sharon memiliki kemampuan melihat masa depan, sehingga hampir semua kejadian yang akan terjadi telah diketahuinya.  Namun, dalam hati Sharon, ada perasaan benci terhadap kemampuannya.  Kehidupannya menjadi hampa, datar, dan tidak ada yang menarik.  Tidak ada kejutan-kejuta menyenangakan atau menyedihkan yang pernah diterima olehnya.  Namun, bagaimanapun rasa bencinya terhadap kemampuannya itu, Sharon harus tetap menerima kenyataan bahwa dirinya memiliki kemampuan tersebut.  Entah dengan berbagai pendapat bahwa kemampuannya itu sebagai anugerah ataupun kutukan.

”Ah, saya tidak terlalu tahu tentang sihir maupun penyihir,” jawab Kleint, mengawali.  ”Yang saya tahu hanyalah sihir merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh sihir.”

”Lalu apa kalian percaya tentang hal itu?”  Lanjut Nellie.

”Mau dibilang percaya juga tidak terlalu,” kali ini Sharon yang menjawab.  ”Karena, bukankah segala hal tentang sihir dan penyihir itu hanya ada dalam dongeng?”

”Seandainya sihir dan penyihir benar-benar ada … apa tanggapan kalian?’

Sharon dan Kleint saling bertukar pandang.  Sebenarnya saat ini Sharon sedang berusaha untuk menahan tawa.  Bagaimana mungkin dia tidak percaya dengan sihir, sedangkan dirinya adalah seorang penyihir.  Kenyataan itu sama sekali tidak diketahui oleh keluarga Maple g ada dihadapannya.  Dan sekarang, setidaknya, dia serta Kleint harus bersikap senormal mungkin, selayaknya seorang manusia biasa yang tidak pernah mengetahui keberadaan sihir maupun para penyihir.

”Entahlah.  Mungkin aku hanya akan berkata ’Wow!’,”  ucap Sharon.

”Bagaimana denganmu, Kleint?”

”Mungkin saya akan melakukan hal yang sama dengan adik saya.”

”Baiklah.  Kalau begitu,” ucap Nellie, sambil menatap ke arah kedua anaknya.

”Eh, tunggu sebentar,” Alice memotong pembicaraan.  ”Kenapa Mom mau menceritakan tentang sihir kepada mereka?”

”Ya, ampun.  Alice, kukira kamu sudah mengerti,” ujar Lessie, kecewa terhadap adiknya yang ternyata sama sekali tidak mengetahui kondisi yang terjadi. Dalam pikiran Lessie, adiknya ini benar-benar cocok dengan kata ‘lemot’.  Pada akhrnya dia menarik nafasnya dalam, pasrah terhadap kelambanan adiknya.  “Kleint itu memiliki kemampuan sihir.  Kamu benar-benar tidak menyadarinya?”

”Mungkin, tadi aku tidak menyadarinya.  Begitu kamu bilang bahwa Kleint memiliki kemampuan sihir.  Aku baru merasakannya auranya.“

“Intinya, Kamu tetap TELAT!“ Lessie benar-benar kecewa terhadap Alice akan kelambanannya terhadap kemampuan sihirnya.

”Sudah, jangan berbicara terlalu keras.  Dan jangan menambah kebingungan Kleint dan Sharon,” ucap Nellie, menengahi mereka berdua.

”Apa maksudnya saya memiliki kemampuan sihir?” tanya Kleint, berusaha agar terlihat bahwa dia tidak mengerti tentang sihir.  Dalam pikiran Kleint, semoga saja aktingnya terlihat real.

”Begini, Kleint, Sharon,” matanya menatap dari Kleint ke Sharon.  ”Aku, dan kedua anakku adalah seorang penyihir.  Jadi, para penyihir benar-benar ada di dunia ini.”

”Wow!” ucap Sharon dan Kleint berbarengan.

“Dan kamu, Kleint,“ lanjut Nellie.  “Kamu memiliki potensi sebagai seorang penyihir.“

“Lalu bagaimana saya bisa memiliki sihir?  Sedangkan sihir hanya ada dalam cerita,” tanya Kleint.  Saat ini Sharon sedikit merasa bersyukur bahwa ternyata jati dirinya tidak diketahui.  Tapi, tetap saja ada masalah, karena berarti aura sihir yang dimiliki oleh Kleint terasa oleh para anggota keluarga Maple itu.

”Sudah kukatakan bahwa penyihir itu benar.  Kamilah contohnya, namun para penyihir saat ini tidak menunjukan jati dirinya di depan manusia biasa.  Kami menyembunyikannya, karena ada suatu alasan.  Sehingga, keberadaan penyihir menjadi suatu rahasia bagi mereka yang mengetehuinya.  Seandainya Kamu bertanya kenapa kami harus menyembunyikan keberadaan penyihir, itu nanti saja.”

”Tante, tadi bilang bahwa aku memiliki kemampuan sihir.  Bagaimana dengan Sharon?  Bagaimana bisa ketahuan bahwa saya memiliki kemampuan sihir?”

”Sayangnya  Sharon tidak memiliki kemampuan sihir.  Kami bisa mengetahui seseorang memiliki kemampuan shir atau tidak berdasarkan auranya, penyihir memiliki aura tersendiri yang hanya bisa dirasakan oleh sesama penyihir.  Kemampuan itu sudah dimiliki oleh para penyihir ketika mereka dilahirkan, namun kesensitifan merasakan aura setiap penyihir itu berbeda.”

”Kalau begitu, seandainya benar saya memiliki kemampuan sebagai penyihir.  Seharusnya saya tahu bahwa kalian adalah seorang penyihir.”

”Ya, benar.”

”Tapi, saya sama sekali tidak tahu bahwa kalian adalah penyihir.  Lagipula aku belum yakin bahwa pembicaraan ini bukan—maaf—sebuah lelucon.”

Nellie menghembuskan napasnya, ”Ketidaktahuanmu mungkin dikarenakan sense-mu belum terlatih dengan baik dikarenakan kamu terlahir bukan dari kalangan penyihir.  Lalu untuk membuktikan ini bukanlah lelucon… ”

Nellie membuka telapak tangannya di atas gelas yang berada ditelapak tangannya.  Memberikan sedikit gerakan sehingga muncul sebuah lingkaran sihir antara tangan dan gelas.  Telihat lingkaran sihir tersebut bergerak turun dan mengubah gelas menjadi benda lain—atau lebih tepat dapat dibilang sebagai makhluk lain.  Dengan cepat muncul sebuah ekor, dilanjutkan dengan bagian yang lain.  Hingga pada akhirnya dapat ditemukan ada seekor anak kucing yang menggantikan kedudukan gelas yang tadinya berada dihadapan Nellie.

Sebisa mungkin Sharon dan Kleint membuat wajah tidak percaya bahwa itu semua benar-benar terjadi.  Sharon ingin sekali menepuk kedua tangannya, memberikan applause terhadap apa yang telah dilakukan Nellie.  Seakan Sharon sedang menonton sebuah pertunjukan sulap.  Dan si pesulap tersebut telah menunjukan sebuah trik sihir yang luar biasa menakjubkan. ”Lalu, apakah kakakku bisa melakukan hal itu?” tanya Sharon.

”Tentu bisa, hanya saja–tentunya butuh latihan,”  ujar Nellie.  Senyum lembut terlukis diwajahnya.

”Tapi, aku masih belum percaya bahwa aku adalah penyihir,” Kleint menunjukan rasa tidak yakin diwajahnya.

”Oh, ayolah Kleint.  Kamu pasti pernah melakukan hal-hal aneh, mungkin semacam poltergeist?“ Ujar Lessie dengan tidak sabar.

“Ah, aku … .“

“Ya, kakak pernah mengalami hal itu,“ potong Sharon.

“Nah!hal itu sudah cukup menunjukan bahwa kmau memiliki kemampuan sihir.  Meskipun, itu belum menutup kemungkinan kamu memiliki kemampuan selain sihir.“

“Sekarang yang menjadi inti dari pembicaraan ini adalah apakah Kleint mau menerima kenyataan sebagai seorang penyihir atau tidak?“ tanya Nellie.

“Seandainya aku bilang tidak?“

“Aku akan menghapus semua ingatanmu dan adikmu tentang apa yang telah kita bicarakan, membuat seakan pembicaraan ini tidak pernah ada,“ ucap Neille memandang lurus ke arah Kleint.  Tatapan matanya tajam, tersirat keseriusan yang dalam.  Sekaligus, menunjukan kesan bahwa dirinya adalah seekor elang yang sedang mengincar mangsanya.

“Seandainya aku menerima?“

“Kamu harus bisa menguasai sihirmu agar bisa kamu manfaatkan dan kendalikan.  Atau kamu hanya akan mencelakai orang-orang disekitarmu.“

Kleint berusaha untuk berpikir keras.  Apa yang seharusnya dijawab.  Tidak ada perintah dari Sharon membuatnya bingung mengambil keputusan, meskipun ini hanyalah kebohongan untuk menutupi jati diri.  Terima saja.  Sebuah suara bergema dikepalanya, Kleint menyadari itu adalah suara dari Sharon.  Terima saja, ini akan sedikit menyenangkanYah,kuharap.  Berdasarkan pada perintah Sharon, Kleint menyanggupi untuk menerima kenyataan bahwa dia adalah seorang penyihir.

”Lalu, Sharon, apakah kamu mau merahasiakan tentang keberadaan kami?”  Neille menatap Sharon.

”Aku akan merahasiakannya, karena ini keputusan dari kakakku.”

”Baiklah dengan ini, Kleint agar Kamu bisa menggunakan sihirmu, kamu membutuhkan seorang pelatih dan Lessie akan menjadi pelatihmu.  Dan agar kamu bisa mengendalikan sihirmu dengan baik, kamu perlu mengikuti upacara khusus—upacara pemeberkahan,  Alice juga akan mengikuti upacara itu.  Pelaksanaan upacara akan diadakan dua minggu lagi.”

”Upacara itu akan dilakukan dimana?” tanya Sharon.

”Tentu saja di negara para penyihir,” jawab Alice sangat antusias.  ”Ini akan keren!”

”Baiklah, pembicaraan ini kita sudahi sampai disini.  Kleint, kamu bisa mengatur jadwal latihanmu bersama dengan Lessie,” ucap Nellie, menyudahi pembicaraan.  Nellie bangkit dari tempatnya duduk.  Berjalan menuju dapur.  Dan berhenti sebentar.  ”Ah, ya, hari sudah sangat sore.  Kalian ikut makan malam disini saja,”  Nellie menawarkan.

”Tapi,” ucap Kleint.

”Tidak ada tapi,” paksa Nellie.  Senyum hangat terukir dibibirnya, seakan tidak pernah bosan untuk terus tersenyum.  Kehangatan seorang ibu begitu terpancara dari dalam diri Nellie.

”Baiklah,” Kleint pasrah.  Matanya menatap ke arah Sharon yang dibalas dengan senyum tipis.

Sambil menunggu makan malam, Sharon dan Kleint menerima penjelasan tentang sihir dari Lessi dan Sharon.  Menurut Lessie, ini adalah pelajaran pertama bagi Kleint.  Saat ini Lessie sedang menjelaskan tentang lingkaran sihir dan mantra.  Mulai dari penggunaannya, kekurangan, kelebihan, dan lainnya, bahkan sedikit sejarah tentang lingkaran sihir dan mantra.  Sebenarnya Sharon merasa khawatir dengan Kleint.  Tapi, Sharon cukup menikmatinya sebagai sebuah permainan.  Meskipun dirinya sudah mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi masa depan masih akan berubah.

Leave a comment

Blog Stats

  • 3,607 hits