Lotus

PROLOG

Lotus, planet kembaran dari Bumi. Namun, terletak sangat jauh dari bumi. Hubungan mereka sangat dekat, dengan segala kesamaan yang ada dan segala ketidaksamaan yang ada. Di Bumi, dimana tekhnologi berkembang dengan pesatnya, sedangkan di Lotus, dimana segala macam sihir dan hal-hal ajaib terbentuk dan digunakan. Namun, Lotus saat ini sedang mengalami keguncangan akan kehancuran dari planetnya…

“Yang Mulia, saya sangat mengharapkan persetujuan dari Yang Mulia,” pinta seorang pria paruh baya.  Janggut putih serta rambut yang terikat rapi, terlihat dengan jelas. Terlukis  kecemasan dan kelelahan di wajah pria paruh baya itu. Namun api dimatanya belum mati, menunjukan semangat yang tak akan kalah dengan usia. “Kita harus bergegas, Yang Mulia.”

“Aku belum bisa memutuskannya, Al. Kau memang penasihatku, tapi bersabarlah sebentar lagi,” ucap seorang raja yang duduk di kursi tahtanya. Seorang raja yang terlihat masih muda, namun kecemasan menutupi kemudaan dari raja itu. Manik hijau sang raja menatap kekejauhan, seakan menatap suatu tak kasat mata.  “Bagaimana dengan pendapat Permaisuri?”

“Permaisuri telah menyetujui usul saya, petinggi kerajaan yang lain pun begitu.”

“Semua telah setuju, hanya tinggal keputusanku. Tapi, ini keputusan berat, aku belum bisa merelakan putriku satu-satunya,” nada keraguan terdengar dari ucapan sang Raja.

“Tapi, hanya Putrilah yang bisa melakukannya. Dia diberkati oleh Lotus. Putri hanya pergi untuk beberapa tahun, hanya agar kemampuannya tidak tercemar,” ucap Al, berusaha untuk meyakinkan Raja.

“Aku mengerti,” ucap Raja yang masih menimbang keputusannya. Tangan kanannya bertumpu pada lengan kursi dan menumpu dagu Raja. “Baiklah, aku menyetujuinya. Segera persiapkan segala hal yang dibutuhkan dan aku memberikan kepercayaan kepadamu untuk memimpin semua persiapan.”

“Baik, Yang Mulia,” ucap Al, mematuhi perintah raja. Al membungkukan badannya didepan raja dan membalikan badan, bergegas pergi meninggalkan sang raja sendiri. Seakan tidak memperdulikan kepergian Al, manik Raja masih tetap memandang kejauhan. Pikiran Raja menerawang kekejauhan, memikirkan kondisi Lotus di masa depan. Kehancuran atau kehidupan?

ROAD I

PERMULAAN

Saat pagi yang menyenangkan.  Burung-burung pemberani berkicau di hutan bangunan.  Matahari telah berusaha untuk berada di tempat yang lebih tinggi.  Awan-awan berarak dengan kompak.  Gemerisik suara pepohonan karena tiupan angin.  Disebuah rumah sederhana yang ditempati oleh keluarga yang tentram., seorang anak perempuan –Eleris– telah terbangun dari tidurnya, segera bergegas. Dan memakai baju seragamnya.  Memandang ke arah cermin yang menampilkan keseluruhan badannya.  Wajahnya yang rupawan, matanya yang berwarna hijau dan rambut panjang yang berwarna biru langit terpantul sempurna di cermin.  Memastikan penampilannya dalam balutan seragam sekolahnya.

“Eleris, sarapan sudah siap!” terdengar suara seorang wanita yang berasal dari luar kamar.

“Iya, Ma.  Eleris segera turun,” balas Eleris.  Dengan cepat Eleris segera menyambar tasnya dan berlari keluar dari kamarnya.  Menapakkan kaki menuruni setiap anak tangga dan menghampiri ruang makan.  Tanpa perlu perintah dari siapapun, Eleris segera duduk di bangkunya.  Manik hijaunya kini menatap ayahnya yang masih sibuk dengan koran, kakak laki-lakinya yang telah lebih dulu memakan sarapannya dan sibuk dengan walkman tua di tangannya, dan Ibunya yang ikut bergabung di meja makan.  Eleris segera menyantap roti panggang, telur mata sapi, serta susu putih yang menjadi menu sarapannya saat itu.

“Eleris, ayo cepat!” perintah kakak laki-lakinya, yang telah menjejalkan walkmannya ke dalam tas ransel.

“Ah, tunggu sebentar, Kak Zen!” ucap Eleris yang langsung melahap sarapannya dengan cepat.  Menyambar tasnya dan menjejalkan roti panggang ke dalam mulutnya.  “Ma, Pa, aku berangkat.”

“Aku juga,” ucap Zen.

***

Eleris telah duduk dikelasnya, menatap keluar jendela.  Home room telah dimulai, namun dia sama sekali tidak memperhatikan.  Pikirannya melayang entah kemana, seakan ada suatu hal yang terlupakan atau tertinggal.  Hal ini terus berulang semenjak dirinya berusia lima belas tahun, lebih tepatnya empat hari yang lalu.  Terkadang dirinya mencoba untuk tidak terlalu memperdulikan perasaannya itu, tapi ternyata rasa itu tetap ada.  Bahkan, rasa penasaran tersebut terus tumbuh di dalam hatinya.

Ini saatnya.

Suara berbisik terdengar di telinga Eleris, membuatnya tersadar dari lamunan.

Kembalilah.

Bisikan itu semakin terdengar jelas.  Rasa takut mulai menjalar dalam hati dan pikiran Eleris.  Eleris menutup kedua telinganya, berusaha agar tidak mendengar suara bisik itu.  Memejamkan mata, seperti mengahrapkan sesuatu.

Kembalilah.

Usahanya percuma, bisikan itu tetap terdengar.  Dia membuka kedua matanya, menatap keluar jendela dan berusaha untuk mengalihkan pikiran.  Ternyata yang terjadi adalah Eleris menangkap gambar pemandangan suatu tempat yang belum pernah dilihatnya.  Seakan layar proyektor, kaca jendela di hadapannya secar terus menerus mengubah gambar pemandangan yang terpantul di jendela.  Manik hijaunya tidak bisa lepas dari gambar pemandangan yang terpantul di jendela.  Rasa rindu yang tidak diketahuinya bergemuruh di dada.  Dia mengetahui tempat itu, tapi dia juga tidak mengetahuinya.  Dimana? Menjadi pertanyaan di dalam hatinya.

“Eleris,” panggil seorang guru wanita.  Eleris sama sekali tidak menyadari panggilan itu.  “Eleris!” guru wanita itu kembali memanggil Eleris dengan suara yang lebih tinggi.  Menyadari hal tersbut dengan cepat Eleris segera menatap guru wanita yang berada dihadapannya.  Matanya terbelalak menatap guru yang berada dihadapannya.

“Kamu dengar apa yang ibu jelaskan?”

Eleris menjawab dengan gelengan kepala.  Jujur saja, dia memang tidak mendengarkan homeroom dan pelajaran sama sekali.  Tidak ada yang perlu disembunyikan, karena menyembunyikan suatu hal yang terlihat hanya akan menambah masalah.

“Perhatikan apa yang ibu jelaskan,” perintah guru wanita itu.

Eleris mengengangguk.  Guru wanita itu kembali ke depan papan tulis, dan kembali menerangkan pelajaran.  Namun, tanpa memperhatikan guru yang telah memperingatinya, Eleris kembali menatap jendela.  Tapi, percuma, gambar pemandangan yang terpantul telah menghilang.  Rasa penasaran memenuhi pikirannya, pertanyaan demi pertanyaan timbul silih berganti di dalam otaknya.  Gambar apa itu?  Suara siapa itu? Dia ingin mengetahuinya.

***

Waktu telah menunjukan pukul 15.00.  Bel yang menunjukan waktu belajar di sekolah telah berbunyi.  Ini saatnya bagi Eleris dan Zen untuk pergi ke klub.  Eleris dan Zen mengikuti klub yang sama, yaitu Aikido.  Tapi, saat ini Eleris sama sekali tidak ada niat untuk mengikuti latihan.  Ada suatu perasaan tidak enak bergemuruh, yang membuatnya memutuskan untuk pulang lebih cepat.  Dia segera berjalan melangkahkan kakinya, pulang kerumah.  Namun, sebelumnya Eleris telah mengirimkan e-mail kepada kakaknya yang berisikan alasan kenapa dirinya tidak bisa mengikuti kegiatan.  Tentu saja bukan dengan alasan yang sesungguhnya, karena dia tidak ingin membuat kakaknya khawatir.

Eleris terus mempercepat langkahnya, bahkan hampir berlari, selama perjalanannya kembali ke rumah.  Perasaannya tidak enak.  Merinding.  Dia merasakan dirinya terus diawasi oleh sepasang mata.  Sesekali langkahnya berhenti untuk memastikan keberadaan seseorang yang mungkin sedang mengawasinya.  Meskipun begitu, ternyata tidak ada seorangpun yang berada dibelakangnya.  Tatapan mata tersebut terus terasa hingga akhirnya dia tiba di depan rumahnya.  Manik hijaunya melihat ke kiri dan kanan, memastikan keberadaan seseorang yang tidak berhasil dilihatnya.  Sedikit rasa takut menghantuinya.  Eleris segera membuka pintu pagar dan pintu rumah, menerjang masuk.  Melepaskan sepatunya dengan terburu-buru dan memberikan salam seadanya kepada ibunya yang sedang berada di dapur.

Tanpa memperdulikan hal apapun.  Eleris melangkahkan kakinya dengan cepat menaiki anak tangga dan segera masuk ke dalam kamarnya.  Membiarkan tasnya terenyak di lantai dekat dengan pintu kamar dan menjatuhkan tubuhnya diatas kasur.  Eleris menutupi kepalanya dengan bantal, berharap tatapan mata yang dirasakan menghilang.  Dan sepertinya berhasil.  Eleris yang sudah tidak lagi merasakan adanya tatapan yang menatap dirinya, dengan perlahan menurunkan bantal yang menutupi kepalanya.  Menatap langit-langit kamar dengan mata yang terlihat sendu dan kesepian.  Manik hijaunya beralih kearah pintu yang tidak berhasil tertutup dengan sempurna.  Kelelahan sangat dirasakan olehnya, terutama kelelahan mental akan hal-hal aneh yang terjadi padanya selama beberapa hari.

“Eleris? Kamu tidak apa-apa?” tanya ibunya dari lantai bawah.  Kekhawatiran terdengar jelas dari suaranya.

Eleris turun dari tempat tidurnya dan dengan segera membuka pintu kamarnya.  Memperlihatkan sebagian tubuh dan keseluruhan wajahnya dari balik pintu.  “Aku tidak apa-apa, Ma.  Hanya sedikit lelah,” jawab Eleris.

“Kau yakin?” nada khawatir kembali terdengar.

“Aku benar-benar tidak apa-apa kok, Ma.”

“Kalau begitu, istirahatlah.”

“Iya,” setelah memberikan jawaban singkatnya, Eleris menutup pintu kamarnya.  Dan kembali mengenyakan dirinya di atas tempat tidur.  Matanay menatap kearah cermin yang berada tepat diseberang tempat tidurnya.  Pantulan dirinya terlihat dengan jelas.  Tanpa memperdulikan lagi pantulan dirinya dicermin, Eleris memejamkan matanya.  Membuat semuanya terlihat gelap.  Perlahan demi perlahan, namun pasti, dirinya mulai terlelap dalam tidur.  Semakin terlelap dan terjatuh ke alam mimpi yang tak terbatas.

Leave a comment

Blog Stats

  • 3,607 hits